Search This Blog

Wednesday, November 15, 2017

wali nikah sebab masyafatul qoshri

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Umum Tentang Wali Nikah
1.    Pengertian Wali Nikah
Perwalian dalam bahasa Arab disebut wilayah. Kata wilayah berarti suatu kekuasaan yang berasal dari syarak untuk melakukan tindakan atau akad, yang mempunyai akibat-akibat hukum. Kekuasaan itu adalah asli bagi seseorang yang cakap untuk melakukan akad atau tindakan hukum untuk diri sendiri.[1] Wahbah Zuhaili mendefenisikan perwalian ialah kekuasaan atau otoritas yang dimiliki seseorang untuk secara langsung melakukan suatu tindakan sendiri tanpa harus bergantung (terikat) atas seizin orang lain.[2] Kata wali dalam fiqih berarti orang yang mempunyai kekuasan untuk melakukan tindakan-tindakan hukum yang kebanyakannya atas ama orang lain.[3]
Kalangan Hanafiah membedakan perwalian ke dalam tiga kelompok, yaitu perwalian terhadap jiwa (Al-walayah ‘alan-nafs), perwalian terhadapa harta (Al-walayah „alal-mal), serta perwalian terhadap jiwa dan harta (Al-walayah ‘alan-nafsi wal-mali ma-an), yaitu perwalian yang bertalian dengan pengawasan (al-isyraf) terhadap urusan yang berhubungan dengan masalah-masalah keluarga seperti perkawinan, pemeliharaan, pendidikan anak, kesehatan, dan aktifitas anak yang hak kepengawasannya pada dasarnya berada di tangan ayah, atau kakek dan para wali yang lain.[4]
Secara umum wali adalah seorang yang karena kedudukannya berwenang untuk bertindak terhadap dan atas nama orang lain.[5] Secara etimologi “wali” mempunyai arti pelindung, penolong, atau penguasa, wali memiliki beberapa arti, diantaranya:
a.       Orang yang menurut hukum (agama atau adat) diserahi kewajiban mengurus anak yatim serta harta-hartanya sebelum anak itu dewasa.
b.      Pengasuh pengantin perempuan pada waktu menikah (yaitu yang melakukan janji nikah dengan pengantin laki- laki)
c.       Orang yang saleh (suci),penyebar agama, dan
d.      Kepala pemerintah dan sebagainya.
Penjelasan “wali” di atas tentu saja pemakainya dapat disesuaikan dengan konteks kalimat. Adapun yang dimaksud “wali” dalam pembahasan ini adalah “wali nikah”.[6] Sedangkan secara terminologi wali nikah adalah orang yang dapat menikahkan perempuan yang berada dalam perwaliannya, tanpa izin dan dilibatkannya walinya maka perkawinan perempuan tersebut dianggap tidak sah.[7] Dalam literature Fiqh Lima madzhab dijelaskan mengenai perwalian dalam perkawinan adalah kekeuasaan atau wewenang syari atas segolongan manusia, yang dilimpahkan kepada orang yang sempurna karena kekurangan tertentu pada orang yang dikuasai itu demi kemaslahatannya sendiri.[8] Sayyid Sabiq mendevinisikan wali adalah suatu ketentuan hukum yang dapat dipaksakan kepada orang lain sesuai dengan bidang hukumnya. wali ada yang umum dan khusus. Wali yang umum berkenaan dengan manusia dah harta benda. Sedangkan yang akan dibahas adalah wali terhadap manusia, yaitu berkenaan dengan wali dalam perkawinan.[9] Amir Syarifudin mendevinisikan wali nikah adalah seorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam akad nikah, yang dilakukan oleh dua pihak yaitu pihak laki-laki dan perempuan.[10]
Mengenai perwalian Kompilasi Hukum Islam merinci sebagai berikut:[11]
Pasal 107
a.       Perwalian hanya terhadap anak yang belum mencapai umur 21 tahun dan atau belum pernah melangsungkan pernikahan.
b.      Perwalian meliputi perwalian terhadap diri dan harta kekayaannya.
c.       Bila wali tidak mampu berbuat atau lalai melaksanakan tugas perwaliannya, maka Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat untuk bertindk sebagai wali atas permohonan kerabat tersebut.
d.      Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat adil, jujur dan berkelakuan baik, atau badan hukum.
Jumhur Ulama sepakat bahwa wali merupakan rukun nikah yang harus dipenuhi sehingga wali nikah harus ada di akad nikah yang di langsungkan oleh mempelai perempuan.[12] Jadi pengertian wali nikah adalah orang laki- laki yang dalam suatu  perkawinan berwenang mengijabkan perkawinan calon mempelai perempuan.
2.        Dasar Hukum Wali Nikah
Dasar hukum wali dalam pernikahan adalah sebagaimana firman Allah dalam Al- Quran:

وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ (۳۲                                   



Terjemahnya:  dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian[13] diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS. An Nur: 32)[14]
Dalam Kompilasi Hukum Islam menerangkan wali nikah merupakan rukun dalam perkawinan. Sebagaimana tercantum pada pasal 19: “Wali nikah merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahinya”.[15]
Keberadaan wali sebagai rukun nikah seperti terdapat dalam pemikiran Malikiyyah, Syafiiyyah maupun Hanabilah.Oleh karena itu, dalam prosesi akad nikah diwajibkan adanya seorang wali karena merupakan rukun yang harus dipenuhi. Sudah selayaknya wali ada dalam perkawinan. Perkawinan merupakan peristiwa penting dalam kehidupan seseorang karena akan menginjak dunia baru untuk membentuk keluarga sehingga diperlukan partisipasi dari phak keluarga untuk merestui perkawinan tersebut. Oleh orangyang yang masih berada dibawah usia 21 tahun (pria atau wanita) maka diperlukan izin dari orang tua. Dalam keadaan orang tua tiada maka izin tersebut diperoleh wali.[16]
3.    Syarat – syarat wali nikah
Wali bertanggung jawab atas sahnya akad pernikahan. Oleh karena itu, tidak semua orang dapat diterima menjadi wali. Untuk menjadi wali seseorang harus memenuhi beberapa syarat:
a.       Islam
b.      Baligh
c.       Merdeka
d.      Laki-laki
e.       Berakal sehat
f.       Adil,artinya tidak fasik.[17]
Adil yang dimaksud adalah tidak bermaksiat, tidak fasik, dia adalah orang yang baik, orang yang shaleh, orang yang tidak membinasakan diri berbuat  munkar.[18] Sayyid Sabiq berbeda pendapat terhadap adil menjadi salah satu syarat wali. Sayyid Sabiq menambahkan apabila seorang durhaka tidak kehilangan hak untuk menjadi seorang wali dalam perkawinan, kecuali kalau kedurhakaannya melampaui batas-batas kesopanan.[19] Dalam kompilasi hukum islam dijelaskan pada pasal 20 ayat 1, yang berbunyi:  “ Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum islam yakni muslim, aqil dan baligh.”
Anak kecil, budak dan orang gila tidak dapat menjadi wali. Bagaimana mereka akan menjadi wali sedangkan untuk menjadi wali atas diri mereka sendiri tidak mampu.[20]
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa syarat-syarat menjadi wali nikah adalah: beragama Islam, laki-laki, baligh, berakal sehat, belumpikun atau hal-hal yang menyebabkan hilang ingatannya, tidak fasik dan tidak mahjur bissafah (dicabut hak kewaliannya).
4.        Macam- macam wali nikah
Dalam Al- Quran maupun hadits telah di terangkan secarajelas bahwa pernikahan tanpa seorang wali itu hukumnya batal dan tidak sah. Maka dari itu siapa saja orang yang berhak menjadi wali dalam perkawinan akan dibahas satu persatu.                                                                                                                                                                                
a . Wali nasab
Wali Nasab adalah wali nikah karena ada hubungan nasab dengan wanita yang akan melangsungkan pernikahan. Tentang urutan wali nasab terdapat perbedaan dikalangan Ulama fikih.[21] Kompilasi Hukum Islam menjelaskan secara rinci mengenai urutan wali dalam pernikahan.[22] Yang di jelaskan pada pasal 21 yang berbunyi:
1)      Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang lain seerat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita. Diantaranya: Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus keatas yakni ayah, kakek dari pihak ayah, dan seterusnya. Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara  laki-laki seayah dan keturunan laki-laki mereka. Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah, dan keturunan laki-laki mereka. Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek, dan keturunan laki-laki mereka.
2)      Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama-sama berhak menajdi wali, maka yang paling berhak menjadi wali ialah yang lebih dekat derajat kekerabatannya dengancalon mempelai wanita.
3)      Apabila dalam satu kelompok sama derajat kekerabatan maka yang paling berhak menjadi wali nikah ialah kerabat kandung dari kerabat yang seayah    
4)      Apabila dalam satu kelompok, derajat kekerabatannya sama yakni sama-sama derajat kandung atau sama-sama kerabat seayah mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah, dengan mengutamakan yang lebuih tua dan memenuhi syarat wali.
Wali nasab dibagi menjadi dua, yaitu wali aqrab (wali dekat)  Dan wali ab’ad (wali jauh).
Dari uraian diatas yang termasuk wali aqrab mulai dari urutan perama yaitu ayah sedangkan yang urutan yang kedua termasuk wali ab’ad. Jika urutan yang pertama tidak ada maka urutan yang kedua menjadi wali aqrab dan urutan yang ketiga menjadi wali abad dan berlaku seterusnya.[23]
Adapun perpindahan wali aqrab menjadi wali abad adalah sebagai berikut:
a) Apabila wali aqrabnya non muslim,
b) Apabila wali aqrabnya fasik,
c) Apabila wali aqrabnya belum dewasa,
d) Apabila wali aqrabnya gila,
e) Apabila wali aqrabnya bisu/tuli.
Kalau hanya sekedar berjauhan tempat (ghoib) sejauh dua marhalah, Imam Syafii berpendapat tidaklah dapat menjadi alasan untuk menyatakan tidak ada wali. Sekalipun jauh namun hal waliyat (kewalian) masih tetap ada padanya.[24] 
b. Wali Hakim
         Wali Hakim adalah wali nikah dari hakim atau qodi. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya wali yang jauh bisa menjadi wali nikah apabila wali yang dekat berhalangan untuk menjadi wali.
Wali hakim yang dimaksudkan dalam perkawinan bukanlah wali yang menjadi hakim di Pengadilan Agama, melainkan wali yang ditunjuk melalui Presiden kepada pembantunya dan dibantu oleh Menteri Agama dan di bantu oleh Pegawai Pencatat Nikah. Sesuai dengan Peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 1981 yang ditunjuk oleh Menteri Agama sebagai wali hakim adalah Kepala Kantor Urusan Agama.
c. Wali Muhakkam
Wali muhakkam adalah seseorang yang diangkat oleh kedua calon suami-istri untuk bertindak sebagai wali dalam akad nikah mereka. Orang yang bisa diangkat sebagai wali muhakkam adalah orang lain yang terpandang, disegani, luas ilmu fiqihnya terutama tentang munakahat, berpandangan luas, adil, islam dan laki-laki.[25]


5 . Urutan orang yang berhak menjadi wali nikah
Dalam beberapa literatur Fiqh dijelaskan tentang urutan wali. Diantaranya:[26]
1. Ayah kandung
2. Kakek (dari garis ayah) dan seterusnya keatas dalam garis lakilaki,
3. Saudara laki-laki sekandung,
4. Saudara laki-laki seayah,
5.  Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung
6. Anak laki-laki saudara laki-laki seayah,
7. Anak laki-laki dari anak laki-laki saudara laki-laki sekandung.
8. Anak laki-laki dari anak laki-laki saudara laki-laki seayah,
9. Saudara laki-laki ayah sekandung (paman),
10. Saudara laki-laki ayah seayah (paman seayah),
11. Anak laki-laki paman sekandung,
12. Anak laki-laki paman seayah
13. Saudara laki-laki kakek sekandung
14. Anak laki-laki saudara laki-laki kakek sekandung
15. Anak laki-laki saudar laki-laki kakek seayah.
Singkatnya urutan wali adalah:[27]
a.Ayah seterusnya ke atas,
b.Saudara laki-laki ke atas, dan
                               c. Saura laki-laki ayah ke bawah.
.
B.       Wali Hakim Sebagai Wali Nikah dalam Perkawinan
1.      Dasar hukum wali hakim
Wali hakim merupakan wali bagi seseorang yang tidak memiliki wali nasab ataupun wali yang enggan menikahkan. Seperti yang dijelaskan sebelumnya wali hakim baru dapat bertindak menjadi wali apabila memang wali dari skala prioritas wali aqrab berhalangan hadir dalam akad pernikahan yang dilangsungkan.dalam sebuah hadist yang diriwayat kan Aisyah yang artinya: Dari Aisyah ra. Berkata:
وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللََُّّ عَنْ هَا قَالَتْ : قَالَ رَسُولُ اَللََِّّ صلى الله عليو وسلم : أَيَُُّّا
اِمْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيِْْ إِذْنِ ولِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ ، بَاطِلٌ ، بَاطِلٌ . فَإِنْ دَخَلَ بَِِا فَ لَهَا
اَلْمَهْرُ بَِِا اِسْتَحَلَّ مِنْ فَ رْجِهَا, فَإِنِ اشْتَجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلُِِّ مَنْ لََ وَلَِِّ لَو )رواه
الخمسة الَّالنّسائي(
Artinya: “Perempuan mana saja yangmenikah dengan izin walinya,maka pernikahannya batil, batil, dan batil. Jika dia digauli, maka dia berhak mendapatkan mahar akibat persetubuhan yang dilakukan kepadanya. Jika mereka berselisih maka penguasa adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali.”(HR.Imam lima kecuali Nasai)[28]
       Ibnu Taimiyyah dalam hal ini berkata di dalam al-ikhtiyariyat:Apabila orang yang berhak menjadi wali dalam perkawinan itu udzhur maka hak perwaliannya dialihkan kepada orang yang lebih patut yang ada dimana orang tersebut memiliki hak kewalian seperti non pernikahan misalnya seperti kepala kampung.[29]  itulah yang dimaksud kepala daerah yang biasanya diberikan kepada wewenang hakim Pengadilan Agama.
     Dalam arti hadis diatas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut wali hakim dengan Sulthan [arab: السُّلْطَانُ], yang artinya penguasa.
Ibnu Qudamah mengatakan,
السلطان في ولاية النكاح هو الإمام أو الحاكم أو من فوضا إليه ذلك
Artinya: Sulthon dalam perwalian nikah adalah pemimpin, hakim atau orang yang dipasrahi untuk menangani masalah pernikahan. (al-Mughni, 7/17)
     Penulis kitab Subulu as Salam berkata : "Yang dimaksud dengan sulthan adalah mereka yang mempunyai kekuasaan, baik ia zalim maupun adil karena hadits-hadits yang memerintahkan mentaati sulthan bersifat umum, mencakup sulthan yang adil maupun yang zalim" (Subulu as Salam III : 118).
     Wali hakim dinegara kita adalah Presiden, kemudian presiden melimpahkan wewenangnya dalam masalah wali ini kepada Menteri Agama (karena menyangkut urusan agama) dan Menteri Agama melimpahkannya kepada aparatnya yang terbawah melalui tauliyah. Hal ini senada dengan yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia dalam pasal 1 sub b yang menerangkan bahwa: "Wali hakim ialah wali nikah yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya, yang diberi hak dan wewenang untuk bertindak sebagai wali nikah"
2. Wali Hakim Dalam Prespektif Kompilasi Hukum Islam
     Apabila wali nikah yang berhak urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah atau oleh karena wali nikah itu menderita tunawicara, tunarungu, atau sudah udzhur, maka hak perwalian menjadi bergeser kepada wali nikah yang lain menurut derajat berikutnya.[30]
     Ketentuan mengenai wali hakim dijelaskan pada Pasal 23. Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi:[31]
(1)   Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau
tidakdiketahui tempat tinggalnya atau gaib atau enggan.
(2)   Dalam hal wali adhal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada keputusan dari Pengadilan Agama tentang wali tersebut.                                         
     Jelaslah bahwa nikah dengan wali hakim atau sultan dalam teks hadits yang di jelaskan Aishah ra. Sandaran hukumnya bersifat syar'i, berupa Hadits Nabi Muhammad SAW. yang perumusan teknisnya melibatkan Ulama Indonesia.
     Dengan demikian akad nikah yang dihadiri atau diijabkan oleh wali hakim sah hukumnya, sepanjang ketentuan- ketentuannya dipenuhi. Alternatif dengan adanya wali hakim dimaksudkan agar hukum islam tetap responsif terhadap tuntutan situasi,dalam upaya mewujudkan ketertiban dan keadilan dalam masyarakat.[32]
   Lebih-lebih lagi keluarga merupakan satuan komunitas yang menjadi basis tersusunnya masyarakat bangsa dan negara.Karena wali hakim memerlukan topangan legitimasi yang jelas dan praktis.[33]
            Wali hakim dapat bertindak menggantikan kedudukan wali nasab apabila:
a.       Wali nasab tidak ada.
b.      Wali nasab bepergian jauh atau tidak ditempat , tetapi member kuasa kepada wali yang lebih dekat yang ada di tempat
c.       Wali nasab kehilangan hak perwaliannya
d.      Wali nasab sedang berihrom haji dan umroh.
e.       Wali nasab menolak bertindak sebagai wali (wali adhol)
f.        Wali nasab menjadi mempelai laki-laki dan perempuan dibawah perwaliannya sedang wali yang sederajat dengan dia tidak ada.
Wali hakim tidak berhak menikahkan:[34]
a.       Wanita yang belum baligh.
b.      Kedua belah pihak (calon mempelai wanita dan pria) tidak sekufu.
c.       Tanpa seizin wanita yang akan menikah, dan
d.      Wanita yang berada di luar daerah kekeuasaannya.
      KHI memang tidak menyebutkan siapa yang ditunjuk olehMenteri Agama untuk bertindak sebagai wali hakim, namun sebelum KHI lahir, telah ada Peraturan Menteri Agama yang menjelaskan hal ini.
  Pasal 3 Peraturan Menteri Agama No.30 Tahun 2005 menyebutkan:
1)      Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan (KUA) dalam wilayah kecamatan yang bersangkutan ditunjuk menjadi wali hakim untuk menikahkan mempelai wanita sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 2 ayat (1) peraturan ini.
2)      Apabila Kepala KUA Kecamatan sebagaimana dimaksud pada ayat  (1) berhalangan atau tidaka ada, maka Kepala Seksi yang membidangi tugas Urusan Agama Islam atas nama Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota diberi kuasa untuk atas nama Meneteri Agama menunjuk salah satu Penghulu pada Kecamatan tersebut atau terdekat untuk sementara menjadi wali hakim dalam wilayahnya
C. Wali Hakim sebagai Wali Nikah Sebab Masyafatul Qosri
1. Definisi wali hakim sebab Masyafatul qosri     
     Dalam hal ini penulis ingin menjelaskan tentang maksud dari judul yang diangkat agar dapat dipahami maksudnya dengan jelas. Disini penulis akan menguraikan arti dari istilah sebagai berikut :
a.       Analisis ialah Penyelidikan terhadap suatu peristiwa (karangan, perbuatan, dsb) untuk mengetahui keadaan yg sebenarnya (sebab-musabab, duduk perkaranya, dsb);[35]
b.      Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanit sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.[36]
c.      

 
Oleh  adalah partikel penanda pelaku pd kalimat pasif: [37]
d.      Wali Hakim ialah wali nikah yang dikuasakan kepada penghulu untuk menikahkan mempelai perempuan apabila tidak ada wali nasab atau wali aqrab mafqud.[38]
e.       Masyafatul Qoshri Wali berada di tempat jaraknya sejauh masafatul qasri (sejauh perjalanan yang membolehkan sholat qasar) yaitu 92,5 km, menurut jumhur Ulama.
            Keberadaan wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak utuk menikahkannya. Sehingga apabila dalam pemeriksaan nikah, wali nikahnya tersebut tidak dapat bertindak sebagai wali dikarenakan walinya mafqud atau adlal atau tidak mungkin untuk menghadirkannya atau tidak memenuhi syarat untuk menjadi wali, maka hal ini Pegawai Pencatat Nikahnya mengangkat wali hakim untuk menjadi wali nikah.
Sebab- sebab terjadinya perpindahan perwaliaan kepada wali hakim
1.      Wali aqrabnya sedang tidak ada, yaitu sedang bepergian yang jaraknya (2) marhalah (yaitu lebih kurang = 92,5 km) sulit dihubungi serta tidak ada wakilnya. Contonya seperti wali akrabnya adalah bapaknya sedang bepergian jauh, sedangkan wali ab’adnya ada yaitu saudara laki-laki atau wali akrabnya ialah saudaranya laki-laki sedang bepergian jauh, yang ada ialah wali ab’adnya yaitu pamannya. Dalam masalah ini yang bertindak wali nikah adalah hakim.
2.      Wali aqrabnya bertempat tinggal ditempat lain yang jauhnya kurang dari dua marhalah (lebih kurang = 92,5 km) hanya sukar untuk menemuinya karena dalam perjalanannya ada gangguan keamanan wali atau aqrabnya sedang dalam tahanan yang tidak di izinkan untuk dihubungi meskipun dengan surat maupun telpon.
3.      Walinya sudah mati semua.
4.      Wali aqrabnya sudah lama menghilang tanpa berita, tanpa alamat entah masih hidup atau sudah mati atau sesudah terjadi peperangan atau sesudah terjadinya kerusakan kapal yang ditumpanginya. Kalau sudah ada berita yang pasti bahwa wali aqrab itu sudah matimaka kewalian berpindah kepada wali ab’ad.
5.      Wali aqrabnya menolak untuk menjadi wali nikah karena tidak setuju kepada calon menantu atau disebut wali adlal , maka hakimlah yang menjadi walinya sesudah diputuskan oleh Pengadilan Agama.
6.      Wali aqrabnya ada, tetapi akan menjadi calon mempelai pria, sedang wali aqrab yang sederajat (sama-sama anak paman) sudah tidak ada.
Pasal 2 ayat (1) PMA Nomor 2 Tahun 1987 tentang Wali Hakim menyebutkan sebab-sebab perpindahan dari wali nasab ke wali hakim, antara lain:
1.      tidak mempunyai wali nasab yang berhak
2.      wali nasabnya tidak memenuhi syarat;
3.      wali nasabnya mafqud;
4.      wali nasabnya berhalangan hadir;
5.      wali nasabnya adhal.
Kompilasi Hukum Islam pasal 23 ayat (1) juga menyebutkan sebab-sebab yang senada dengan PMA Nomor 2 tahun 1987 di atas, hanya berbeda sedikit redaksinya, yaitu, "Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tiak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adhal atau enggan."[39]

                                                             




[1]Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Perdata Isalm, (Yogyakarta:UII Press, 2000), h.83
[2] Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam,(Jakarta:Raja Grafindo, 2005), h. 134.
[3] Basyir, Asas-Asas, h. 85
[4] Muhammad Amin Summa., Hukum Keluarga, h. 135.
[5] Amir Syarifudin, Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta:Kencana, 2011), cet. 3, h. 69.
[6] Sohari Sahrani dkk., Fikih Munakahat: Kajian Fiqh Lengkap, (Jakarta: Rajawali Press,2010), h. 89
[7] Ahsin W. Alhafidz, Kamus Fiqh, (Jakarta: Azmah, 2013), h. 238.
[8] Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Madzhab, (Jakarta: Lentera, 2001), cet. 7, h. 345
[9] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Terjemahan, (Bandung: PT. Almaarif, 1981), jilid 2, h. 7
[10] Syarifuddin, Hukum Perkawinan., h. 70
[11] Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 171
[12] Syarifuddin, Hukum Perkawinan, h. 70.
[13] Maksudnya: hendaklah laki-laki yang belum kawin atau wanita- wanita yang tidak bersuami, dibantu agar mereka dapat kawin.
[14] al-Qur’an, 24: 32.
[15] Tim Redaksi Nusa Aulia, Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: CV. Nusa Aulia, 2011), h.
[16] Arso Sosroatmodjo dkk., Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 2004), h. 25  
[17]Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar baru Algensindo, 2014), h. 374.
[18] Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat., h. 64.
[19] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah., h. 8
[20] Djamaan Nur, Fiqih Munakahat, (Semarang: CV Toha Putra, 1993), h. 65
[21] Sahroni dkk., Fikih Munakahat, h. 95.
[22] Mohd. Idrus Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam Analisis dari UU. No.1 Tahun 1974 dan KHI, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2002), cet. 4, h.74.
[23] Sohari Sahrani dkk. , Fikih Munakahat, h. 97
[24] Moh. Saifulloh Al- Aziz S., Fiqih Islam Lengkap, (Surabaya: Terbit Terang, 2002), h. 486
[25] M. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1999), Cet. 2, h.25
[26] Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,1998), h. 87
[27] Sahroni dkk., Fikih Munakahat., h. 91
[28] Syekh Faishol Bin Abdul aziz Al- Mubaraq, Nailul Authar Hompunan Hadits- hadits Hukum Terjemahan Muammal Hamidy dkk., (Surabaya: PT. Bina Ilmu,2002), h. 2158.
[29] Ibid.
[30] .Mohd Idris Ramulyo, op. cit., h. 77
[31] Tim Redaksi Nusa Aulia, op. cit., h. 8
[32] Ahmad Rofik, op. cit., h. 93
[33] Ibid., h. 94
[34] Sohari Sahrani dkk., Hukum Perkawinan., h. 91.
[35] Tim penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai pustaka, 2008), cet. 3 h.78.
[36] Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, ( Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2002), h. 70.
[37] Tim penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai pustaka, 2008), cet. 3 h.1017.
[38] Ahsin W.Alhafidz, Kamus Fiqih, ( Jakarta: Amzah, 2014), hlm 238.
[39]http://pokjahulu-kotabandung.blogspot.co.id/2010/12/intiqal-wali-nikah.html