BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Umum Tentang Wali Nikah
1.
Pengertian Wali Nikah
Perwalian dalam bahasa Arab disebut wilayah.
Kata wilayah berarti suatu kekuasaan yang berasal dari syarak untuk
melakukan tindakan atau akad, yang mempunyai akibat-akibat hukum. Kekuasaan itu
adalah asli bagi seseorang yang cakap untuk melakukan akad atau tindakan hukum
untuk diri sendiri.[1] Wahbah
Zuhaili mendefenisikan perwalian ialah kekuasaan atau otoritas yang dimiliki
seseorang untuk secara langsung melakukan suatu tindakan sendiri tanpa harus
bergantung (terikat) atas seizin orang lain.[2] Kata
wali dalam fiqih berarti orang yang mempunyai kekuasan untuk melakukan
tindakan-tindakan hukum yang kebanyakannya atas ama orang lain.[3]
Kalangan Hanafiah membedakan perwalian ke
dalam tiga kelompok, yaitu perwalian terhadap jiwa (Al-walayah ‘alan-nafs),
perwalian terhadapa harta (Al-walayah „alal-mal), serta perwalian
terhadap jiwa dan harta (Al-walayah ‘alan-nafsi wal-mali ma-an), yaitu perwalian
yang bertalian dengan pengawasan (al-isyraf) terhadap urusan yang
berhubungan dengan masalah-masalah keluarga seperti perkawinan, pemeliharaan,
pendidikan anak, kesehatan, dan aktifitas anak yang hak kepengawasannya pada
dasarnya berada di tangan ayah, atau kakek dan para wali yang lain.[4]
Secara umum wali adalah seorang yang karena
kedudukannya berwenang untuk bertindak terhadap dan atas nama orang lain.[5] Secara
etimologi “wali” mempunyai arti pelindung, penolong, atau penguasa, wali
memiliki beberapa arti, diantaranya:
a.
Orang yang menurut hukum (agama
atau adat) diserahi kewajiban mengurus anak yatim serta harta-hartanya sebelum
anak itu dewasa.
b.
Pengasuh pengantin perempuan pada
waktu menikah (yaitu yang melakukan janji nikah dengan pengantin laki- laki)
c.
Orang yang saleh (suci),penyebar
agama, dan
d.
Kepala pemerintah dan sebagainya.
Penjelasan
“wali” di atas tentu saja pemakainya dapat disesuaikan dengan konteks
kalimat. Adapun yang dimaksud “wali” dalam pembahasan ini
adalah “wali nikah”.[6] Sedangkan secara terminologi wali nikah adalah orang yang
dapat menikahkan perempuan yang berada dalam perwaliannya, tanpa izin dan
dilibatkannya walinya maka perkawinan perempuan tersebut dianggap tidak sah.[7] Dalam
literature Fiqh Lima madzhab dijelaskan mengenai perwalian dalam perkawinan
adalah kekeuasaan atau wewenang syar‟i atas segolongan manusia,
yang dilimpahkan kepada orang yang sempurna karena kekurangan tertentu pada orang
yang dikuasai itu demi kemaslahatannya sendiri.[8] Sayyid
Sabiq mendevinisikan wali adalah suatu ketentuan hukum yang dapat
dipaksakan kepada orang lain sesuai dengan bidang hukumnya. wali
ada yang umum dan khusus. Wali yang umum berkenaan dengan manusia
dah harta benda. Sedangkan yang akan dibahas adalah wali terhadap
manusia, yaitu
berkenaan dengan wali dalam perkawinan.[9] Amir Syarifudin mendevinisikan wali nikah adalah seorang
yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam akad nikah, yang dilakukan
oleh dua pihak yaitu pihak laki-laki dan perempuan.[10]
Mengenai perwalian Kompilasi Hukum Islam merinci sebagai berikut:[11]
Pasal 107
a.
Perwalian hanya terhadap anak yang
belum mencapai umur 21 tahun dan atau belum
pernah melangsungkan pernikahan.
b.
Perwalian meliputi perwalian
terhadap diri dan harta kekayaannya.
c.
Bila wali tidak mampu berbuat atau
lalai melaksanakan tugas perwaliannya, maka Pengadilan Agama dapat menunjuk
salah seorang kerabat untuk bertindk sebagai wali atas permohonan kerabat
tersebut.
d.
Wali sedapat-dapatnya diambil dari
keluarga anak tersebut atau orang lain yang
sudah dewasa, berpikiran sehat adil, jujur dan berkelakuan baik, atau badan hukum.
Jumhur Ulama sepakat bahwa wali merupakan rukun nikah yang harus dipenuhi
sehingga wali nikah harus ada di akad nikah yang di langsungkan oleh mempelai
perempuan.[12] Jadi
pengertian wali nikah adalah orang laki- laki yang dalam suatu perkawinan berwenang mengijabkan
perkawinan calon mempelai perempuan.
2.
Dasar Hukum Wali Nikah
Dasar hukum
wali dalam pernikahan adalah sebagaimana firman Allah dalam
Al- Qur‟an:
وَأَنْكِحُوا
الْأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ
يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
(۳۲
Terjemahnya: dan kawinkanlah
orang-orang yang sedirian[13]
diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu
yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah
akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya)
lagi Maha Mengetahui. (QS. An Nur: 32)[14]
Dalam
Kompilasi Hukum Islam menerangkan wali nikah merupakan rukun dalam
perkawinan. Sebagaimana tercantum pada pasal 19: “Wali nikah merupakan
rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk
menikahinya”.[15]
Keberadaan wali sebagai rukun nikah seperti terdapat dalam pemikiran
Malikiyyah, Syafi‟iyyah maupun
Hanabilah.Oleh karena itu, dalam prosesi akad nikah diwajibkan adanya seorang
wali karena merupakan rukun yang harus dipenuhi. Sudah selayaknya wali ada
dalam perkawinan. Perkawinan merupakan peristiwa penting dalam kehidupan
seseorang karena akan menginjak dunia baru untuk membentuk keluarga sehingga
diperlukan partisipasi dari phak keluarga untuk merestui perkawinan tersebut. Oleh orangyang
yang masih berada dibawah usia 21 tahun (pria atau wanita) maka diperlukan
izin dari orang tua. Dalam keadaan orang tua tiada maka izin tersebut diperoleh
wali.[16]
3.
Syarat – syarat wali nikah
Wali
bertanggung jawab atas sahnya akad pernikahan. Oleh karena itu, tidak semua
orang dapat diterima menjadi wali. Untuk menjadi wali seseorang harus memenuhi
beberapa syarat:
a.
Islam
b.
Baligh
c.
Merdeka
d.
Laki-laki
e.
Berakal sehat
f.
Adil,artinya tidak fasik.[17]
Adil yang
dimaksud adalah tidak bermaksiat, tidak fasik, dia adalah orang yang
baik, orang yang shaleh, orang yang tidak membinasakan diri berbuat munkar.[18] Sayyid Sabiq
berbeda pendapat terhadap adil menjadi salah satu syarat wali. Sayyid Sabiq menambahkan apabila seorang durhaka tidak
kehilangan hak untuk menjadi seorang wali dalam perkawinan, kecuali kalau
kedurhakaannya melampaui batas-batas kesopanan.[19] Dalam
kompilasi hukum islam dijelaskan pada pasal 20 ayat 1, yang berbunyi: “ Yang bertindak sebagai wali nikah ialah
seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum islam yakni muslim, aqil
dan baligh.”
Anak kecil,
budak dan orang gila tidak dapat menjadi wali. Bagaimana mereka akan menjadi
wali sedangkan untuk menjadi wali atas diri mereka sendiri tidak mampu.[20]
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa syarat-syarat menjadi wali nikah adalah:
beragama Islam, laki-laki, baligh, berakal sehat, belumpikun atau hal-hal yang
menyebabkan hilang ingatannya, tidak fasik dan tidak mahjur bissafah (dicabut
hak kewaliannya).
4.
Macam- macam wali
nikah
Dalam Al- Qur‟an maupun
hadits telah di terangkan secarajelas bahwa pernikahan tanpa seorang wali itu
hukumnya batal dan tidak sah. Maka dari itu siapa saja
orang yang berhak menjadi wali dalam perkawinan akan dibahas satu
persatu.
a . Wali nasab
Wali Nasab
adalah wali nikah karena ada hubungan nasab dengan wanita yang akan
melangsungkan pernikahan. Tentang urutan wali nasab terdapat perbedaan
dikalangan Ulama‟ fikih.[21] Kompilasi
Hukum Islam menjelaskan secara rinci mengenai urutan wali dalam pernikahan.[22]
Yang di jelaskan pada pasal 21 yang berbunyi:
1)
Wali nasab terdiri dari empat
kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang
satu didahulukan dari kelompok yang lain seerat tidaknya susunan kekerabatan
dengan calon mempelai wanita. Diantaranya: Pertama, kelompok kerabat
laki-laki garis lurus keatas yakni ayah, kakek dari pihak ayah, dan seterusnya.
Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah dan keturunan laki-laki
mereka. Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung
ayah, saudara seayah, dan keturunan laki-laki mereka. Keempat, kelompok
saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek, dan keturunan
laki-laki mereka.
2)
Apabila dalam satu kelompok wali
nikah terdapat beberapa orang yang sama-sama berhak menajdi wali, maka yang
paling berhak menjadi wali ialah yang lebih dekat derajat kekerabatannya
dengancalon mempelai wanita.
3)
Apabila dalam satu kelompok sama
derajat kekerabatan maka yang paling berhak menjadi wali nikah ialah kerabat
kandung dari kerabat yang seayah
4)
Apabila dalam satu kelompok,
derajat kekerabatannya sama yakni sama-sama derajat kandung atau sama-sama
kerabat seayah mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah, dengan mengutamakan
yang lebuih tua dan memenuhi syarat wali.
Wali nasab dibagi menjadi dua, yaitu wali aqrab (wali dekat) Dan wali ab’ad (wali jauh).
Dari uraian diatas yang termasuk wali aqrab mulai dari urutan perama
yaitu ayah sedangkan yang urutan yang kedua termasuk wali ab’ad. Jika
urutan yang pertama tidak ada maka urutan yang kedua menjadi wali aqrab dan
urutan yang ketiga menjadi wali ab‟ad dan berlaku seterusnya.[23]
Adapun
perpindahan wali aqrab menjadi wali ab‟ad adalah sebagai
berikut:
a) Apabila wali
aqrabnya non muslim,
b) Apabila wali
aqrabnya fasik,
c) Apabila wali
aqrabnya belum dewasa,
d) Apabila wali
aqrabnya gila,
e) Apabila wali aqrabnya bisu/tuli.
Kalau hanya sekedar berjauhan tempat (ghoib) sejauh dua marhalah,
Imam Syafi‟i berpendapat
tidaklah dapat menjadi alasan untuk menyatakan tidak ada wali.
Sekalipun jauh namun hal waliyat (kewalian) masih tetap ada padanya.[24]
b. Wali Hakim
Wali Hakim adalah
wali nikah dari hakim atau qodi. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya wali
yang jauh bisa menjadi wali nikah apabila wali yang dekat berhalangan untuk
menjadi wali.
Wali hakim yang
dimaksudkan dalam perkawinan bukanlah wali yang menjadi hakim di Pengadilan
Agama, melainkan wali yang ditunjuk melalui Presiden kepada pembantunya dan
dibantu oleh Menteri Agama dan di bantu oleh Pegawai Pencatat Nikah. Sesuai dengan
Peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 1981 yang ditunjuk oleh Menteri Agama
sebagai wali hakim adalah Kepala Kantor Urusan Agama.
c. Wali Muhakkam
Wali muhakkam adalah
seseorang yang diangkat oleh kedua calon suami-istri untuk bertindak sebagai
wali dalam akad nikah mereka. Orang yang bisa diangkat sebagai wali muhakkam
adalah orang lain yang terpandang, disegani, luas ilmu fiqihnya terutama
tentang munakahat, berpandangan luas, adil, islam dan laki-laki.[25]
5 . Urutan orang yang berhak menjadi wali
nikah
1. Ayah kandung
2. Kakek (dari garis ayah) dan seterusnya keatas dalam garis
lakilaki,
3. Saudara laki-laki sekandung,
4. Saudara laki-laki seayah,
5. Anak laki-laki
saudara laki-laki sekandung
6. Anak laki-laki saudara laki-laki seayah,
7. Anak laki-laki dari anak laki-laki saudara laki-laki sekandung.
8. Anak laki-laki dari anak laki-laki saudara laki-laki seayah,
9. Saudara laki-laki ayah sekandung (paman),
10. Saudara laki-laki ayah seayah (paman seayah),
11. Anak laki-laki paman sekandung,
12. Anak laki-laki paman seayah
13. Saudara laki-laki kakek sekandung
14. Anak laki-laki saudara laki-laki kakek sekandung
15. Anak laki-laki saudar laki-laki kakek seayah.
Singkatnya
urutan wali adalah:[27]
a.Ayah seterusnya ke atas,
b.Saudara laki-laki ke atas, dan
c. Saura
laki-laki ayah ke bawah.
.
B.
Wali Hakim Sebagai Wali Nikah dalam
Perkawinan
1.
Dasar hukum wali hakim
Wali hakim merupakan wali bagi seseorang yang tidak memiliki wali nasab ataupun wali yang enggan menikahkan. Seperti yang
dijelaskan sebelumnya wali hakim baru dapat
bertindak menjadi wali apabila memang wali
dari skala prioritas wali aqrab berhalangan hadir dalam akad pernikahan yang
dilangsungkan.dalam sebuah hadist yang diriwayat kan Aisyah yang artinya: Dari
Aisyah ra. Berkata:
وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللََُّّ عَنْ هَا قَالَتْ : قَالَ رَسُولُ اَللََِّّ صلى الله عليو وسلم : أَيَُُّّا
اِمْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيِْْ إِذْنِ ولِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ ، بَاطِلٌ ، بَاطِلٌ . فَإِنْ دَخَلَ بَِِا فَ لَهَا
اَلْمَهْرُ بَِِا اِسْتَحَلَّ مِنْ فَ رْجِهَا, فَإِنِ اشْتَجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلُِِّ مَنْ لََ وَلَِِّ لَو )رواه
الخمسة الَّالنّسائي(
Artinya: “Perempuan mana saja yangmenikah dengan izin walinya,maka
pernikahannya batil, batil, dan batil. Jika dia digauli, maka dia berhak
mendapatkan mahar akibat persetubuhan yang dilakukan kepadanya. Jika mereka
berselisih maka penguasa adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali.”(HR.Imam lima
kecuali Nasai)[28]
Ibnu Taimiyyah dalam hal ini berkata di
dalam al-ikhtiyariyat:Apabila orang yang berhak menjadi wali dalam perkawinan
itu udzhur maka hak perwaliannya dialihkan kepada orang yang lebih patut yang
ada dimana orang tersebut memiliki hak kewalian seperti non pernikahan
misalnya seperti kepala kampung.[29] itulah yang dimaksud kepala daerah yang
biasanya diberikan kepada wewenang hakim Pengadilan Agama.
Dalam arti hadis diatas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut
wali hakim dengan Sulthan [arab: السُّلْطَانُ],
yang artinya penguasa.
Ibnu Qudamah
mengatakan,
السلطان في
ولاية النكاح هو الإمام أو الحاكم أو من فوضا إليه ذلك
Artinya:
Sulthon dalam perwalian nikah
adalah pemimpin, hakim atau orang yang dipasrahi untuk menangani masalah
pernikahan. (al-Mughni, 7/17)
Penulis kitab Subulu as Salam berkata : "Yang dimaksud
dengan sulthan adalah mereka yang mempunyai kekuasaan, baik ia zalim maupun
adil karena hadits-hadits yang memerintahkan mentaati sulthan bersifat umum,
mencakup sulthan yang adil maupun yang zalim" (Subulu as Salam III :
118).
Wali hakim dinegara kita adalah Presiden, kemudian presiden
melimpahkan wewenangnya dalam masalah wali ini kepada Menteri Agama (karena
menyangkut urusan agama) dan Menteri Agama melimpahkannya kepada aparatnya yang
terbawah melalui tauliyah. Hal ini senada dengan yang terdapat dalam Kompilasi
Hukum Islam di Indonesia dalam pasal 1 sub b yang menerangkan bahwa: "Wali hakim ialah
wali nikah yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya,
yang diberi hak dan wewenang untuk bertindak sebagai wali nikah"
2. Wali Hakim
Dalam Prespektif Kompilasi Hukum Islam
Apabila wali nikah yang berhak urutannya
tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah atau oleh karena wali nikah itu
menderita tunawicara, tunarungu, atau sudah udzhur, maka hak perwalian menjadi
bergeser kepada wali nikah yang lain menurut derajat berikutnya.[30]
Ketentuan mengenai wali hakim dijelaskan
pada Pasal 23. Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi:[31]
(1) Wali hakim
baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak
mungkin menghadirkannya atau
tidakdiketahui
tempat tinggalnya atau gaib atau enggan.
(2) Dalam hal wali
adhal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali
nikah setelah ada keputusan dari Pengadilan Agama tentang wali tersebut.
Jelaslah bahwa nikah dengan wali hakim
atau sultan dalam teks hadits yang di jelaskan Aishah ra. Sandaran
hukumnya bersifat syar'i, berupa Hadits Nabi Muhammad SAW. yang
perumusan teknisnya melibatkan Ulama‟ Indonesia.
Dengan demikian akad nikah yang dihadiri
atau diijabkan oleh wali hakim sah hukumnya, sepanjang ketentuan- ketentuannya
dipenuhi. Alternatif dengan adanya wali hakim dimaksudkan agar hukum islam
tetap responsif terhadap tuntutan situasi,dalam upaya mewujudkan ketertiban dan
keadilan dalam masyarakat.[32]
Lebih-lebih lagi keluarga merupakan satuan
komunitas yang menjadi basis tersusunnya
masyarakat bangsa dan negara.Karena wali hakim memerlukan topangan legitimasi
yang jelas dan praktis.[33]
Wali hakim dapat bertindak
menggantikan kedudukan wali nasab apabila:
a.
Wali nasab tidak ada.
b.
Wali nasab bepergian jauh atau
tidak ditempat , tetapi member kuasa kepada wali yang lebih dekat yang ada di
tempat
c.
Wali nasab kehilangan hak
perwaliannya
d.
Wali nasab sedang berihrom haji dan
umroh.
e.
Wali nasab menolak bertindak
sebagai wali (wali adhol)
f.
Wali nasab menjadi mempelai laki-laki dan
perempuan dibawah perwaliannya sedang wali yang sederajat dengan dia tidak ada.
Wali hakim tidak berhak menikahkan:[34]
a.
Wanita yang belum baligh.
b. Kedua belah
pihak (calon mempelai wanita dan pria) tidak sekufu.
c. Tanpa seizin
wanita yang akan menikah, dan
d. Wanita yang
berada di luar daerah kekeuasaannya.
KHI memang tidak menyebutkan siapa yang
ditunjuk olehMenteri Agama untuk
bertindak sebagai wali hakim, namun sebelum KHI lahir, telah ada Peraturan
Menteri Agama yang menjelaskan hal ini.
Pasal 3 Peraturan Menteri
Agama No.30 Tahun 2005 menyebutkan:
1)
Kepala Kantor Urusan Agama
Kecamatan (KUA) dalam wilayah kecamatan yang bersangkutan ditunjuk menjadi wali
hakim untuk menikahkan mempelai wanita sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 2 ayat (1) peraturan ini.
2)
Apabila Kepala KUA Kecamatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berhalangan atau tidaka ada, maka Kepala Seksi yang membidangi tugas Urusan
Agama Islam atas nama Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota diberi kuasa
untuk atas nama Meneteri Agama menunjuk salah satu Penghulu pada Kecamatan
tersebut atau terdekat untuk sementara menjadi wali hakim dalam wilayahnya
C. Wali Hakim
sebagai Wali Nikah Sebab Masyafatul Qosri
1. Definisi
wali hakim sebab Masyafatul qosri
Dalam hal ini penulis ingin menjelaskan
tentang maksud dari judul yang diangkat agar dapat dipahami maksudnya dengan
jelas. Disini penulis akan menguraikan arti dari istilah sebagai berikut :
a.
Analisis ialah Penyelidikan
terhadap suatu peristiwa (karangan, perbuatan, dsb) untuk mengetahui keadaan yg
sebenarnya (sebab-musabab, duduk perkaranya, dsb);[35]
b.
Perkawinan ialah ikatan lahir batin
antara seorang pria dan wanit sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa.[36]
c.
|
Oleh
adalah partikel penanda pelaku pd kalimat pasif: [37]
d.
Wali Hakim ialah wali nikah yang
dikuasakan kepada penghulu untuk menikahkan mempelai perempuan apabila tidak
ada wali nasab atau wali aqrab mafqud.[38]
e.
Masyafatul Qoshri Wali berada di tempat jaraknya sejauh masafatul qasri
(sejauh perjalanan yang membolehkan sholat qasar) yaitu 92,5 km, menurut jumhur
Ulama.
Keberadaan
wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon
mempelai wanita yang bertindak utuk menikahkannya. Sehingga apabila dalam
pemeriksaan nikah, wali nikahnya tersebut tidak dapat bertindak sebagai wali
dikarenakan walinya mafqud atau adlal atau tidak mungkin untuk menghadirkannya
atau tidak memenuhi syarat untuk menjadi wali, maka hal ini Pegawai Pencatat
Nikahnya mengangkat wali hakim untuk menjadi wali nikah.
Sebab- sebab terjadinya perpindahan perwaliaan kepada wali hakim
1. Wali aqrabnya
sedang tidak ada, yaitu sedang bepergian yang jaraknya (2) marhalah (yaitu
lebih kurang = 92,5 km) sulit dihubungi serta tidak ada wakilnya. Contonya
seperti wali akrabnya adalah bapaknya sedang bepergian jauh, sedangkan wali ab’adnya
ada yaitu saudara laki-laki atau wali akrabnya ialah saudaranya laki-laki
sedang bepergian jauh, yang ada ialah wali ab’adnya yaitu pamannya.
Dalam masalah ini yang bertindak wali nikah adalah hakim.
2. Wali aqrabnya
bertempat tinggal ditempat lain yang jauhnya kurang dari dua marhalah
(lebih kurang = 92,5 km) hanya
sukar untuk menemuinya karena dalam perjalanannya ada gangguan keamanan wali
atau aqrabnya sedang dalam tahanan yang tidak di izinkan untuk dihubungi
meskipun dengan surat maupun telpon.
3. Walinya sudah
mati semua.
4. Wali aqrabnya sudah lama menghilang tanpa berita, tanpa
alamat entah masih hidup atau sudah mati atau sesudah terjadi peperangan atau
sesudah terjadinya kerusakan kapal yang ditumpanginya. Kalau sudah ada berita
yang pasti bahwa wali aqrab itu sudah matimaka kewalian berpindah kepada
wali ab’ad.
5. Wali aqrabnya menolak untuk menjadi wali nikah karena tidak
setuju kepada calon menantu atau disebut wali adlal , maka hakimlah yang
menjadi walinya sesudah diputuskan oleh Pengadilan Agama.
6. Wali aqrabnya
ada, tetapi akan menjadi calon mempelai pria, sedang wali aqrab yang
sederajat (sama-sama anak paman) sudah tidak ada.
Pasal
2 ayat (1) PMA Nomor 2 Tahun 1987 tentang Wali Hakim menyebutkan sebab-sebab
perpindahan dari wali nasab ke wali hakim, antara lain:
1. tidak mempunyai wali nasab yang berhak
2. wali nasabnya tidak memenuhi syarat;
3. wali nasabnya mafqud;
4. wali nasabnya berhalangan hadir;
5. wali nasabnya adhal.
Kompilasi
Hukum Islam pasal 23 ayat (1) juga menyebutkan sebab-sebab yang senada dengan
PMA Nomor 2 tahun 1987 di atas, hanya berbeda sedikit redaksinya, yaitu, "Wali
hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau
tidak mungkin menghadirkannya atau tiak diketahui tempat tinggalnya atau gaib
atau adhal atau enggan."[39]
[5] Amir Syarifudin, Amir Syarifuddin,
Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta:Kencana, 2011), cet. 3, h. 69.
[6] Sohari Sahrani dkk., Fikih Munakahat: Kajian Fiqh Lengkap, (Jakarta:
Rajawali Press,2010), h. 89
[13] Maksudnya: hendaklah laki-laki yang belum
kawin atau wanita- wanita yang tidak bersuami, dibantu agar mereka dapat kawin.
[22] Mohd. Idrus Ramulyo, Hukum Perkawinan
Islam Analisis dari UU. No.1 Tahun 1974 dan KHI, (Jakarta: PT. Bumi
Aksara, 2002), cet. 4, h.74.
[28] Syekh Faishol Bin Abdul aziz Al- Mubaraq, Nailul
Authar Hompunan Hadits- hadits Hukum
Terjemahan Mu‟ammal Hamidy dkk., (Surabaya: PT. Bina
Ilmu,2002), h. 2158.
No comments:
Post a Comment